Powered By Blogger

Senin, 24 Januari 2011

Blogger Template Designer

Blogger Template Designer

WELCOME TO CARREFOUR COUNTRIES


Globalisasi tidak sekedar bisikan, dia sudah masuk pada ranah praktek dan sudah akrab dengan kehidupan masyarakat. Globalisasi menjelma dalam bentuk market yang sekarang sudah hadir di kota Pontianak Kalimantan Barat.  Dulu masyarakat tidak mengenal Supermarket seperti  Hypermart, Carrefour dan lain-lain, tapi sekarang masyarakt sudah akrab dengan hal-hal ini. Dalam kontek sosial dan ekonomi masyararakt sudah mengalami kemajuan dalam ‘berkonsumsi’ suatu barang yang diwujudkan dalam pertemuan antara permintaan dan penawaran di suatu tempat yang nyaman dan aman. Namun disisi lain apakah kenyaman dan kemanan tersebut berbanding lurus dengan kontribusi ekonomi yang diberikan kepada daerah Kalbar. Untuk itu kondisi  ini menjadi menarik untuk dikaji karena Pontianak sejak dulu telah melahirkan pasar-pasar tradisional yang menjadi unggulan kita. Pertanyaannya, apakah pasar-pasar tradisional ini akan kalah saing dan akhirnya punah karena kalah bertarung. Dan apakah dengan hadirnyanya Carrefour dan market skala besar yang dihadirkan dari luar berdampak positif pada produk-produk lokal. Mari kita lihat analisis di bawah ini.
Kehadiran Carrefour  dan yang lainnya tentunya menyertakan produk-produk luar. Pasar ini menjadi pintu masuk produk-produk yang sudah mereka kemas sedemikian rupa menjadi sebuah produk yang lebih menarik. Kalau pun ada kerjasama produk-produk dalam negeri atau produk-produk lokal, maka yang bersangkutan harus mengikuti kesepakatan-kesepakatan bisnis (trading term) dengan mereka. Ini pernah terjadi di Carrefour Jakarta selatan (Ciputat) dimana mereka dituntut karena telah mempraktekkan sistem monopoli. Penulis tidak tahu perkebangan selanjutnya, apakah sistem ini masih berlaku atau tidak.
Secara essensi bukan wujud dari kehadiran market skala besar yang dipermasalahkan, akan tetapi harus lebih digiring pada persoalan pemahaman akan trading term antara Carrefour dan pemasok yang nota bene stack holder Kalimantan Barat seperti walikota dan bupati. Trading term ini menjadi penentu keberpihakan kepada masyarakat kalbar baik petani maupun UKM.
Biasanya trading term itu terdiri dari, (pertama) Minus Margin, adalah sebuah aturan yang diberlakukan tentang harga minimal. Persyaratan Minus Margin yang diterapkan apabila Carrefour menemukan harga jual yang lebih murah di gerai para pesaing Carrefour maka invoice akan dipotong langsung atas selisih harga tersebut. Ini tidak wajar karena pemasok tidak dapat mengontrol harga jual yang ditetapkan pesaing Carrefour. Harga Jual produk ke konsumen adalah kebijakan peritel yang menjadi pesaing Carrefour. Lagi pula harga yang ditentukan oleh produsen sudah melalui hitung-hitungan karena mereka juga harus membayar beban bunga yang mereka pinjam.
(kedua) Listing Fee, Yang dimaksud listing fee adalah biaya pemasok untuk memasok produk baru ke dalam gerai. Listing Fee berfungsi sebagai jaminan apabila barang tersebut tidak laku. Walau pun tidak dikenakan kepada semua pemasok tetapi pengenaan listing fee tidak tepat karena hubungan usaha antara Carrefour dengan pemasok adalah sistem jual putus. Dengan demikian tidak tepat jika masih ada listing fee dengan alasan menutupi kerugian apabila barang tersebut tidak laku. Listing Fee yang bagi pemasok merupakan investasi yang tidak memberikan nilai tambah, dapat dipakai Carrefour untuk mengurangi item produk yang akan masuk dan menghalangi pemasok masuk gerai Carrefour.
(ketiga) Anniversary Discount, Biasa diberikan antara bulan Agustus – September, dirasakan memberatkan pemasok karena ulang tahun hanya 1 hari tetapi dibebankan kepada pemasok selama satu bulan.
(keempat) Commont Assortment Cost, Biaya kompensasi terhadap display seluruh varian produk pemasok yang telah disepakati. Perilaku ini memberatkan karena kebijakan pembelian adalah kebijakan bisnis Carrefour. Sudah selayaknya resiko tidak lakunya barang yang dibeli menjadi tanggungan Carrefour.
(lima) Store Remodelling Discount,  Adalah discount tambahan khusus diberikan oleh pemasok untuk mendukung promosi di gerai Carrefour yang sedang diremajakan. Diskon dihitung dari jumlah gerai yang diremajakan. Perilaku ini memberatkan karena kebijakan peremajaan gerai adalah kebijakan Carrefour jadi sewajarnya ditanggung sepenuhnya oleh Carrefour. Jika ini dianggap biaya promosi, maka merupakan tambahan biaya karena sudah ada promotion discount dan promotion budget .
(enam) Pembukaan gerai baru, Dalam hal pembukaan gerai baru, Carrefour mengenakan sekaligus tiga item trading term yaitu listing fee, opening cost/new store dan opening discount .
Syarat-syarat perdagangan (trading term) yang diterapkan semakin memberatkan setiap tahunnya berupa penambahan jenis item, kenaikan biaya dan kenaikan besaran tarif ( fee percentage. Bahkan trading term ini merupakan virus yang menyebar karena para pesaing Carrefour mulai menerapkan beberapa item trading term yang sama akibat beberapa karyawan Carrefour yang pindah kerja ke perusahaan pesaing Carrefour.
Berharap besar semua trading term diatas ada pembaharuan sehingga tidak memunculkan kemiskinan baru bagi masyarakat Kalbar. Bayangkan jika produk-produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar, maka selamanya kita akan mengkonsumsi produk-produk luar. Ini artinya kita telah menjadi penyumbang kesejahteraan terbesar bagi Negara-negara yang sudah makmur dan sebaliknya kita telah melakukan pemiskinan bagi masyarakat lokal sendiri.
Menurut Direktur Keuangan Carrefour Pierre Bouchut mengumumkan, penjualan di kuartal IV-2009 mencapai 25,99 miliar euro. Ini sedikit meningkat dibandingkan penjualan periode yang sama tahun 2008 yang sekitar 25,74 miliar euro. Perusahaan ritel terbesar kedua di dunia itu juga mengumumkan berhasil mencapai laba operasi 2,79 miliar euro. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa penyumbang terbesar dari penjualan ini adalah Polandia dan Indonesia. Kenyataan ini tidak akan prihatin sekiranya penghasilan itu masuk ke dalam negeri. Itu artinya Indonesia harus mampu mengelola pasar sendiri dengan mengembangkan produk dalam negeri. Jika market dibiarkan lepas begitu saja, tanpa ada andil dari pengusaha kita, maka selamanya kita akan menjadi penyumbang yang paling dermawan terhadap Negara-negara maju.
Untuk itu, tawaran penulis adalah mesti ada program menggalakkan UKM dalam negeri khususnya Kalbar. Pertanian, pekebunan, peternakan dan sektor-sektor ekonomi unggulan untuk menjadi pemasok terbesar. Dengan adanya ini berarti kita telah menjadi tuan rumah di daerah sendiri, bukan sebaliknya menjadi tamu di daerah sendiri. Tentunya ini semua butuh komitment dan keahlian semua pihak utamanya pemerintah dan masyarakat. Bagaimana pemimpin di Kalbar menjadi pemimpin dengan sifat-sifat kepemimpinan dan masyarakar menjadi rakyat dengan sifat-sifat kerakyatannya.
Hal ini sejalan dengan komitmen antara pemegang saham terbesar asal Indonesia yang mendorong agar UKM dalam negeri bisa menjadi mitra bisnis utama Carrefour. Kesempatan ini jangan sampai disia-siakan dengan menyiapkan segenap potensi ekonomi lokal. Menurut pengamatan penulis, hanya sedikit yang mau menangkap peluang ini. Bupati Kubu Raya sudah memulai dengan menjadi salah satu pemasok produk-produk kabupaten kubu raya. Akan tetapi ini masih butuh waktu untuk menjadi pemasok unggulan di Carrefour karena masih terbatas penyediaan produk. Akan tetapi niatan dan program itu sudah dimulai, persoalan nanti ada pengembangan, itu sudah menjadi program tersendiri.
Di samping itu, pengembangan pasar tradisional juga mesti menjadi angenda utama. Tujuannya adalah pemberdayaan masayarakat lokal yang getol dengan dunia bisnis. Jangan sampai mata pencaharian utama masyarakat termusnahkan gara-gara semangat ingin mengembagkan market berskala internasional. Karena masyarkat bukan objek dari pembangunan akan tetapi mereka harus dijadikan subjek dalam pembangunan daerah ini. Jika  masyarakat kalbar hanya dininabobokkan dengan consumerisme atau hanya sekedar menjadi konsumen, itu artinya tidak terdapat pemberdayaan di sana, akan tetapi jika masyarakat menjadi subjek atau pelaku bisnis, maka sesungguhnya ini yang disebut sebagai pemberdayaan bukan pemiskinan. Untuk itu, pasar tradisional harus menjadi agenda utama  dari pembangunan daerah Kalimantan barat.    
   
(Penulis adalah Dosen Ekonomi Islam di STAIN Pontianak)

GURITA C-AFTA 2010


GURITA merupakan pengistilahan yang disampaikan dalam tulisan ini betapa China-ASIA Free Trade Agreement (C-AFTA) adalah sesuatu yang menakutkan dan prakteknya akan memakan korban bagi Negara-negara lemah seperti Indonesia. Setiap satu cengkramannya akan memakan korban yang begitu banyak. Sama halnya dengan FTA, setiap satu sub sektor perdagangan dibebaskan maka akan mematikan industri-indistri dalam negeri. Matinya industri-industri dalam negeri mengakibatkan lemahnya pertubuhan ekonomi dan pendapatan Negara akan menjadi kurang. Ketika pendapatan berkurang maka berdampak pada tingkat kesejahteraan yang berkurang pula. Inilah sekilas mengapa tulisan ini sengaja diberi judul yang agak sedikit bombastis.  
China-ASEAN Free Trade Agreement disingkat CAFTA (dulu AFTA) diterjemahkan sebagai perdagangan bebas antara ASIA dan China. Liberalisasi ekonomi ini mulai diberlakukan per 1 Januari 2010 yang melegalkan perdagangan bebas antara Negara-negara di ASEAN termasuk Indonesia dan China. Free Trade Agreement antara ASEAN dan China merupakan kesepakatan yang diratifikasi oleh Negara-negara ASEAN dengan Negara China terkait dengan perdagangan bebas. FTA ini merupakan kerja sama ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan (barrier) dalam perdagangan internasional. Selain itu FTA juga bertujuan untuk memberikan kepastian ekonomi yang lebih besar, transparansi, dan mengurangi biaya yang terkait dengan perdagangan international. Juga untuk meningkatkan investasi di antara Negara negara peserta FTA. Inilah salah satu tujuan mulia dari FTA yang membawa angin segar bagi Negara-negara yang lemah dalam menganalisis dampaknya. Jika dikaji lebih jauh maka terdapat tujuan-tujuan terselubung yang itu merupakan kepentingan Negara-negara industrialis dan maju seperti China. Sementara Indonesia, apa yang kita punya ? hanya menjadi konsumer-konsumer kelas wahid.  
Berlakunya kesepakatan perdagangan bebas ini juga akan berimplikasi pada penetrasi pasar dan kompetisi di antara Negara-negara peserta FTA. Aliran barang dan jasa (goods and services) dari luar negeri ke dalam Indonesia tidak dapat dihindarkan lagi. Produk-produk dari luar negeri dapat masuk dengan mudah ke Indonesia karena tidak adanya hambatan bea masuk. Produk-produk luar negeri dapat dengan mudah didapat di Indonesia dan bersaing langsung dengan produk sejenis di indoensia. Di antara Negara-negara peserta FTA ASEAN-China maka China merupakan negara yang menjadi momok dalam FTA. Betapa tidak. Produk-produk China terkenal dengan harga yang sangat murah sekali. Tenaga kerja yang sangat murah di China mampu menekan harga pokok produksi barang-barang China.


Dampak C-AFTA bagi Indonesia
Dampak yang paling fundamental dari C-AFTA ini adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat menurun. Penyebabnya adalah ambruknya industri nasional karena kalah saing yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Jika ini yang terjadi maka Indonesia tidak ubahnya dengan masa-masa tahun 1997-1998 yaitu krisis multidimensi. Ini akan mejadi kenyataan karena ternyata Indonesia belum siap untuk menghadapi FTA. Minimnya Industri manufaktur dan mahalnya harga mejadi salah satu penyebab utamanya.
Untuk saat ini Indonesia masih menyandang predikat Negara konsumtif, yaitu sebuah Negara yang persentase belanjanya lebih tinggi dibandingkan dengan menjual barang-barang ke luar negeri (ekspor). Indonesia menjadi Negara pengimpor dari Negara-negara luar karena tidak mampu mengolah sendiri. Contohnya adalah minyak bumi, Indonesia memiliki sumber-sumber minyak bumi, namun karena tidak bisa diolah menjadi bahan siap pakai maka bahan-bahan mentah tersebut dijual ke luar utamnya Singapura, ketika barang tersebut sudah siap pakai maka diimpor ke Indonesia dengan harga yang lebih mahal. Ini yang terjadi selama ini dan sampai sekarang belum ada solusi dari pemerintah.

Cara mengadapi C-AFTA
Indonesia merupakan salah satu Negara yang termasuk di dalam penentu kebijakan FTA. Maka semestinya harus lebih jeli dan hati-hati dalam menentukan kebijakannya. Jangan sampai terjebak yang kesekian kalinya dalam kubangan liberalisasi ekonomi. Untuk itu ada beberapa tawaran dalam tulisan ini agar Indonesia lebih siap lagi dalam menghadapi FTA. 
(Pertama), pemerintah harus mengajukan suspensi atau penundaan pemberlakuan FTA untuk sektor-sektor yang memang belum siap. Beberapa sektor ekonomi yang ada di Indonesia harus diselamatkan dan tidak perlu dihadapkan pada perdagangan bebas. Jika dipaksakan bahwa semua sektor masuk dalam kesepakatan maka yang terjadi adalah ambruknya beberapa sektor ekonomi dalam negeri. Dampak dari ini adalah ekonomi Indonesia akan semakin terpuruk karena produsen-produsen dari luar negeri dengan tingkat efektivitas produksi yang sangat tinggi dan murah menjadi lawan di pasar bebas yang menakutkan bagi pasar lokal.
(Kedua), pemerintah harus melakukan radikaalisasi dalam mempersiapkan FTA dengan mengembangkan industri dalam negeri. Memang terkesan terlambat jika persiapan dilakukan saat FTA sudah diberlakukan, untuk itu beberapa sektor ekonomi jangan sampai lolos dalam pasar global (FTA) sambil mempersipakan (melakukan pembenahan) sehingga beberapa tahun ke depan bisa mampu bersaing dalam liberasisasi ekonomi Asia.
(Ketiga), pemerintah harus menurunkan BI rate dan suku bunga perbankan. Salah satu kelemahan out put industri dalam negeri adalah harga yang sangat mahal. Penyebab mahalnya ini kurang mendapat perhatian kita. Hasil produksi mahal disebabkan suku bunga tinggi. Maka untuk mampu bersaing dari sisi harga, diperlukan suku bunga yang rendah. BI rate tahun ini akan stabil di level 6,5%, turun dari 9,5%. Sementara rata-rata suku bunga bank saat ini masih di level 13-14%. Padahal, dengan BI rate di level 6,5%, seharusnya rata-rata suku bunga pinjaman di level 11,5%. “Angka ini dapat menambah daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
(Keempat), harus memproteksi produk dalam negeri dengan cara nasionalisasi produk-produk Indonesia. meningkatkan efektivitas pengamanan pasar dalam negeri, penyelundupan, pengawasan peredaran barang dalam negeri memenuhi standar mutu (SNI), kesehatan, keamanan, promosi penggunaan produk dalam negeri (nasionalisasi produk dalam negeri), verifikasi surat keterangan asal (SKA) dan mekanisme pengaman (safeguard). Barang yang masuk dengan tarif rendah harus dicek bahwa barang itu benar-benar berasal dari negara-negara mitra AFTA atau CAFTA yang memenuhi standart.
(Kelima), menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak jelas yang mengakibatkan dunia usaha dalam negeri kesulitan. Selama ini terdapat pungutan-pungutan liar yang membuat pengusaha panik hingga melakukan kenaikan harga karena untuk menutupi kerugian yang disebabkan oleh pungutan-pungutan liar tadi. Dengan menaikkan harga yang disebabkan oleh pungutan-pungutan tak bertuan ini sangat menyulitkan bagi barang-barang tersebut untuk laku di pasaran.
(Keenam), reformasi birkrasi dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam segala bidang khususnya ekonomi. Selama ini Indonesia terkenal dengan lambatnya dalam hal birokrasi. Urusan yang berkaitan dengan perizinan sampai berbulan-bulan. Dari lambatnya urusan birokrasi ini mengakibatkan lambatnya juga laju produksi yang berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
(Ketujuh), memperbaiki infra struktur. Untuk mendukung kelancaran ekonomi maka urat nadi ekonomi harus diperhatikan yaitu infra struktur. Salah satu penyebab out put produksi mahal ialah proses-proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang jadi juga mahal, misalnya dari sisi distribusi bahan-bahan mentak menuju tempat produksi.
(Kedelapan), reformasi sistem moneter yaitu dengan menganti sistem rate (bunga) dengan sistem profit and loss sharing (bagi hasil) karena lebih tahan inflasi dan lebih adil. Tawaran profit and loss sharing ini tidak hanya untuk sekelompok kalangan saja akan tetapi keadilannya untuk semua kalangan.
Kiranya dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum siap sepenuhnya dalam menghadapi FTA. Daerah-daerah di seluruh Indonesia termasuk Kalimantan Barat juga sangat jauh dari kesiapan untuk bertarung. Untuk itu sebaiknya benahi kebijkan ekonomi dalam negeri dengan memperhatikan delapan tawaran penulis di atas.

(Penulis adalah Dosen di beberapa Perguruan Tinggi di Kalbar)

“FORDISME” DALAM KOMITE EKONOMI NASIONAL (KEN)


Pertumbuhan GDP, akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat masih menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Ini menjadi proyek pembanguan setelah perang dunia kedua yang sarat akan pencapaian-pencapaian material dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan material perekonomian. Dengan karakteistik seperti itu, Negara-negara berlomba-lomba menggapai kemakmuran ekonomi lewat serangkaian penyelenggaraan pembangunan secara sistematis, dengan tujuan utama memuaskan masyarakat secara material. Konsep pembangnan ini yang disebut sebagai ‘fordisme’.
Paham fordis ini mengedepankan upaya tercipatnya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimalisasi kegunaan tanpa batas, yang dibentuk melalui tiga element penting yaitu, rasionalitas, efisiensi dan produksi/konsumsi massal. Itulah filsafat pembangunan yang menuntun setiap Negara dalam menjalankan program ekonominya.
Kecanggihan dari paham ini adalah, bahwa mereka tidak bekerja sendirian, akan tetapi terpat penopang unggulan yang menjadi kaki tangan ‘fordis’. Di sinilah munculnya peran lembaga moneter semacam IMF (International Monetery Fund) dan Work Bank, lembaga keuangan internasional yang dibentuk pada saat berlangsungnya Konfrensi Bretton Woods, sebagai mediator pengekspansi gagasan system tata ekonomi dunia. Jika terjadi krisis ekonomi di suatu Negara khususnya Negara berkembang, maka mereka menjelam seperti “malaikat” penyelamat melalui sumbangan financial yang disuntikkan. Disinilah Negara berkembang menjadi “pasien” yang diistimewakan oleh mereka.
Dalam mewujudkan kepentingan lembaga-lembaga donor (Bank Dunia), menerima bantuan wajib melalui standard operating procedure yaitu dimana Negara yang meminta bantuan diminta kesediannya untuk mengikatkan diri denga perdangangan internasional (tata kelola ekonomomi dunia baru), membuka pasar dalam negerinya bagibarang-barang produksi luar negeri, memberikan kebebasan lalu lintas modal dan laba, serta membuka diri untuk investasi asing. Tuntutan-tuntutan itu logis kalau membaca dengan cermat statuta pembentukan Bank Dunia, di mana di dalam anggaran dasarnya tertulis tegas untuk menjaga dan mendorong kehidupan ekonomi dunia ke arah system perdagangan perdagangan dunia yang bebas (lihat Sugihardjanto, 94).
Ide tata kelola ekonomi dunia baru ini merupakan kampanye terselubung yang diperankan oleh Negara-negara donor, tujuannya adalah “minimalitas peran negara” dalam pembangunan ekonomi. Tata kelola ekonomi dunia ini berkeyakinan dan meyakinkan Negara berkembang, apabila kegiatan ekonomi seluruhnya diserahkan ke pasar akan diperoleh efisiensi internasional secara maksimal. Jika ini berjalan dengan baik, maka perdagangan internasional akan berlangsung dengan baik dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian akan bayak kemajuan dalam bidang ekonomi yang akan dicapai.
Tapi, satu hal tidak bisa dihindarkan dan paling fundamental, yaitu semakin terkikisnya peran Negara. Ini yang sangat membahayakan sehingga jika ini terjadi maka sesungguhnya kedaulatan bangsa telah terkikis. Akan mudah diintervensi oleh Negara donor dari segala arah. Kepentingan pembangunan ekonomi ini juga masuj ranah politik, hingga ada pernyataan ‘siapa yang ingin menang dalam pilpres, maka harus mendapat restu dari Negara donor.
Dalam satu sisi kenyataan ini bisa dilihat sebagai paradox, karena sejak awal dianggap bahwa pembangunan merupakan ungkapan komitmen dari sebuah pemerintahan untuk mensejahterakan masyarakatnya, akan tetapi dalam penerapannya tanggung jawab tersebut dipindahkan pada masyarakat dengan beban hutnang yang harus ditanggung oleh pajak-pajak yang dipungut dari rakyat jelata. Di Negara berkembang, ekspresi komitmen Negara tersebut ditunjukkan lewat berbagai upaya sistematis agar kemajuan ekonomi bisa cepat digapai. Sedangkan di Negara maju, ungkapan tanggung jawab itu diwujudkan dalam bentuk beberapa program social welfare, seperti tunjangan pengangguran maupun kesehatan. Namun pada akhirnya, peran-peran publik seperti itu dilenyapkan karena mengandaikan adanya inefisiensi dalam kegiatan ekonomi dan mungkin bukan sesuatu yang diinginkan oleh beberapa kelompok capital (pemilik modal).
Kondisi ini dipersandingkan dengan gagasan privat untuk menguntungkan para free rider (kelompok pengusaha) demi menggapai profit yang berlebih. Dengan model pembangunan yang seperti ini, dengan sendirinya akan menciptakan kekayaan individu dan dalam lingkup Negara memunculkan pemiskinan terhadap rakyat jelata. Dengan model seperti ini pula semakin jelas terdapat “peminggiran” peran Negara untuk mengeloal ekonomi dalam negeri.
Gambaran proses “pemingiran” peran Negara dan mengedapankan free market system (system pasar bebas) dalam kegiatan ekonomi tersebut bisa diamati secara gampang pada praktek penyelenggaraan kehidupan ekonomi di Negara maju seperti Amerika Serikat. Sedangkan di Negara-negara berkembang, proses liberalisasi masih dilaksanakan secara malu-malu, mungkin masih mempertahankan ideologis atau pun argumrntasi-argumrntasi mentah lainnya.
Secara idelogis, laju pergerakan liberalisasi di negara berkembang agak tersendat karena sejak awal beberapa di dunia ke tiga memang memiliki filsafat ekonomi politik yang berlawan secara diametral, yakni menghendaki peran Negara sebagai “penjaga malam”. Sedangkan secara praktis, gagasan liberalisasi sering dihambat oleh kekuatan ekonomi lama yang kepentingan wkonominya dirugikan bila proyek “pembebasan Negara” dilakukan. Oleh karena ini perjalanan liberalisasi di Negara-negara berkembang tidak berjalan sepenuhnya.
Wlau pun demikian, sungguh sudah membawa dampak negative bagi masyarkat terutama pemberlakuan ULN dan PMA yang sering dilupakan oleh pemerintah Negara berkembang dalam mencermati instrumennya. Setidaknya terdapat beberapa alas an kritis yang menyebabkan utnag luar negeri memiliki implikasi yang sangat serius terhadap Negara berkembang termasuk Indonesia. Pertama, tidak seperti yang dipahami oleh banyak kalangan, ULN tidak datang dalam wujud uang, melainkan sebagian besar justru dalam bentuk barang atau teknologi. Dengan keadaan seperti itu, jelas penggunaan utang luar negeri menjadi tidak fleksibel karena produk atau teknologi tersebut hanya bisa dipakai untuk program-program tertentu saja. Kedua, karena yang datang adalah barang atau teknologi, kemungkinan yang muncul adalah barang atau teknologi itu sesungguhnya tidak sesuai dengan program yang dugunakan, baik kualitas atau pun kesesuaian. Ketiga, sudah menjadi persyaratan bahwa setiap program yang disetujui selalu disertai dengan konsultan asing dengan bayaran yang sangat mahal. Keempat, sudah pasti, di balik kesepakatan ULN tersebut dibarengi dengan kesanggupan-kesanggupan atau kesepakatan-kesepakatan dari Negara berkembang untuk berbagai kebijakan ekonomi sesuai dengan kepentingan Negara donor. Akhirnya proses peminggiran peran Negara betul-betul terlaksana dan inilah yang disebut sebagai “fordisme” dalam pembangunan.     
Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang dibentuk oleh pemerintah diharapkan memiliki konsep pembangunan yang mengedepankan kepentingan nasional dan kekukuhan Negara dalam mengatur dirinya sendiri. Jangan menjadi boneka Negara luar, karena peranan KEN sangat strategis khususnya dalam memberikan masukan konsep pembangunan ekonomi Indonesia kepada menteri dan bahkan kepada Presiden sekali pun.

BANK KAUM MISKIN

BANKABLE, itu salah satu syarat utama yang diberikan oleh pihak perbankan jika ingin mendapatkan pinjaman (modal) usaha dari perbankan. Orang yang dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman disebut UNBANKABLE (tidak bankable) yaitu sekelompok orang atau perorangan yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank. Sebut saja salah satu kekurangannya adalah bahwa mereka tidak mempunyai agunan (jaminan) sebagai pengamanan uang yang telah dipinjamkan oleh pihak bank.
Kebanyakan masyarkat yang unbankable tadi adalah dari kalangan bawah (miskin), sebut saja mereka yang tinggal di desa-desa. Padahal dari sisi etos kerja dan etos bisnisnya mereka tergolong yang punya potensi besar, namun karena tidak mempunyai akses persyaratan yang memadai maka mereka at tercampak pada posisi lefel bawah. Terjebak pada kondisi lingkar setan kemiskinan karena selama ini tidak pernah mendapatkan akses ekonomi.
Kondisi yang selalu tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin ini membuat mereka terjebak pada system rente yang sampai sekarang masih bergentayangan dimana-mana. kelompok rente ini pandai memanfaatka peluang bahwa kelompok miskin sangat membutuhkan modal sementara perbankan tidak pernah memasukkan mereka sebagai mitra yang bisa menguntungkan.
Kondisi yang paling parah dari akibat dari terjebak pada kondisi ribawi (rentenir) ialah bahwa mereka terjebak pada lingkar syetan kemiskinan. Teori lingkar kemiskinan menyebutkan mahwa miskin disebabkan karena mereka tidak mempunyai modal, tidak bisa berinvestasi, tidak menabung dan tidak bisa mendapatkan penghasilan disebabkan mereka tidak punya modal untuk berusaha.
Apa yang harus dilakukan
Kalbar sebagai salah satu daerah miskin di Indonesia semestinya mempunyai kreasi daninovasi dalam rangka pengentasa kemiskinan. Jika kemiskinan selama ini disebabkan oleh dua hal saja yaitu (pertam) karena cultural yaitu kemiskinan disebabkan karena masyarakat malas bekerja dan (kedua) disebabkan oleh structural yaitu kemiskinan disebabkan karena pemerintah tidak bersih dalam menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah tidak memberikan akses luas kepada masyarakat sehingga masyarakat banyak kurang  paham bagaimana mereka bisa hidup sejahtera.
Pertama, kaum miskin menjadi pilihan utama Muhammad Yunus dalam penyaluran pinjamannya dilatar belakangi oleh kondisi Bangladesh yang sangat memprihatinkan. Ketika itu, penduduk Bangladesh sedang mengalami bencana kemiskinan dan kelaparan yang sangat mengkhawatirkan. Yunus sangat terkejut ketika melihat realitas kemiskinan yang sedang menimpa masyarakat di sekitar kampusnya sendiri. ”Ketika banyak orang sedang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan,” katanya.
Sejak itu, Yunus merasa tertantang untuk mengembangkan skema kredit mikro sebagai upaya melawan kemiskinan yang sedang merajalela di tengah-tengah masyarakat. Langkah awal yang ia lakukan adalah memberikan pinjaman uang dari kantongnya sendiri kepada masyarakat miskin di pedesaan, yang selama ini tidak bisa mengembangkan usahanya karena tidak bisa mendapatkan akses pinjaman uang dari bank.
Upaya ini dilakukan oleh Yunus disaat pemerintah merasa kewalahan dihadapkan dengan kemiskinan dan kelaparan. Yunus dengan penuh keyakinan berusaha mencurahkan perhatiannya memerangi kemiskinan itu dengan mengatakan ”Saya selalu yakin bahwa menghapus kemiskinan dari muka bumi ini adalah persoalan niat.”
Tanpa kenal lelah dia menyisir ke desa-desa untuk mendata jumlah masyarakat miskin dan kemudian memberikan pinjaman uang sebagai modal untuk memulai usaha. Program ini terbukti sangat efektif dan mampu menurunkan angka kemiskinan yang pada waktu itu sudah begitu parah. Pada tahun 1976,Yunus menyempurnakan lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal bernama Grameen Bank, yang dalam bahasa Bengali artinya Bank Desa.
Adapun sebagai penjamin pembayaran kredit, Grameen Bank menggunakan sistem yang dinamakan grup solidaritas. Grup ini terdiri dari kelompok kecil dengan jumlah lima orang (kemudian terkenal dengan nama "Limaan") yang bersama-sama mengajukan pinjaman. Di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin. Jaminan (agunan; collateral) bukan berbentuk harta yang seimbang dengan dana yang dipinjamkan, akan tetapi seseorang yang dianggap terpercaya dijadikan jaminannya. Ini jauh berbeda dengan konsep perbankan pada umumnya.  Sungguh sebuah sistem yang mengedepankan kejujuran dan kepercayaan dijadikan sebuah bagian vital dalam bisnisnya M.Yunus.
Sistem ini mirip (namun tidak sama) dengan penerapan sistem dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, maka dana itu akan digunakan oleh anggota lainnya. Dan, beberapa tahun terakhir Grameen Bank telah memperluas cakupan pemberian kreditnya dengan memberikan kredit pinjaman rumah (KPR) dan proyek irigasi.
Program dan metodologi pengentasan kemiskinan seperti yang dicontohkan Muhammad Yunus sekarang telah diadopsi oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di berbagai belahan dunia. Dan lebih dari 17 juta orang miskin di seluruh dunia sudah merasakan manfaat langsung dari program ini. Puncaknya, pada tahun 2006 lalu Muhammad Yunus dan Grameen Bank dianugerahi Nobel Perdamaian oleh Komite Nobel Norwegia. Ini adalah kemenangan terbesar bagi Yunus dan kaum miskin Bangladesh atas pengorbanan mereka mengembangkan Grameen Bank.
Kemenangan dalam memerangi kemiskinan merupakan langkah penting dalam upaya menciptakan perdamaian. Penyebab munculnya aneka konflik di tengah masyarakat sering kali dikarenakan oleh persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Persoalan kemiskinan bisa dijadikan senjata untuk sebuah propaganda politik dan memecah belah masyarakat. Hal semacam inilah yang seharusnya perlu terus diwaspadai. Sangat disayangkan jika kemiskinan dan kesenjangan ekonomi justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan keuntungan bagi segelintir orang atau kelompok tertentu.
Metodologi Yunus ikut menyertakan banyak variabel sehingga mempunyai dampak perubahan yang luas (tidak hanya ekonomi). Yunus berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi-institusi seperti pendidikan , pemerintahan, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang selama ini ikut “membiarkan” kemiskinan itu tak teratasi. Yunus juga membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif terhadap orang miskin seperti terlihat dari praktik perbankan, mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional.
Grameen Bank yang didirikan Yunus pada dasarnya melakukan sebuah revolusi praktik perbankan seperti kredit tanpa agunan dan melayani nasabah buta huruf yang mayoritasnya kaum perempuan.
Yang paling menarik dari metodologi Yunus dalam mengentaskan kemiskinan adalah dengan cara pendekatan kultural. Yunus melahirkan anti tesa terhadap teori ekonomi pembangunan yang selama ini di dewa-dewakan. Metodologi Yunus dalam rangka mengentaskan kemiskinan dengan cara melihat kemiskinan melalui "mata cacing", bukan dengan cara melihat kemiskinan melalui "mata burung". Metodologi "mata burung" yang selama ini dipraktikkan oleh negara-negara maju dalam rangka mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang hanya sekedar fatamorgana belaka. Karena metodologi ini sangat tidak efektif. Mereka hanya mengetahui kulitnya saja dari permasalahan kemiskinan yang sesungguhnya dengan hanya memantau kemiskinan dari helikopter saja kemudian membuat program pengentasannya. Dampaknya adalah setiap strategi yang dilakukan tidak tepat sasaran dan tidak mengakar pada persoalan kemiskinan. Untuk itu Muhammad Yunus membuat anti tesa dengan metodologi baru yaitu melihat dan menyelesaikan kemiskinan dengan menggunakan "mata cacing". Dalam konteks kekinian, metodologi mata cacing ini identik dengan gerakan kultural dalam mengentaskan masalah yaitu bergelut langsung dengan kemiskinan yang sesungguhnya di alami oleh masyarakat. Ikut merasakan sehingga mengetahui apa solusi yang tepat.
Kedua adalah mayoritas kaum perempuan dijadikan mitra. Grameen Bank telah memiliki perwakilan di seluruh Bangladesh, dan 97% dari enam juta krediturnya adalah para perempuan miskin. Sebenarnya ada apa dengan perempuan sehingga M. Yunus sangat tertarik. Dalam kontek ini penulis akan coba mengkaji kelebihan-kelebihan kaum perempuan yang ditulis oleh Martha Barletta dalam bukunya "Marketing to Women". Dalam bukunya tersebut Martha mengungkap hasil penelitian tentang cara pandang perempuan.
Di mata laki-laki, tatanan sosial bersifat hirarkhis. Sedangkan di mata perempuan, hirarki dan perbedaan status adalah kenyataan hidup, dan ini merupakan tatanan agar bisa hidup damai dan tenteram. Akan tetapi dalam kontek sosial, perempuan lebih suka meminimalisir perbedaan hirarki. Laki-laki lebih suka membandingkan orang secara vertikal, sedangkan perempuan meletakkan hubungan dalam sebuah lingkaran, lebih suka berpegangan tangan.
Perempuan percaya bahwa orang lain juga penting seperti halnya dirinya. Itu berarti masing-masing individu mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain juga terhadap dirinya sendiri. Prinsipnya adalah melalui kerja sama dan dukungan yang saling menguntungkan; "Semua untuk satu, dan satu untuk semua". Perempuan menganggap bahwa orang lain merupakan kekuatan, tempat bersandar.
Dalam konteks dunia usaha (bisnis) laki-laki adalah suka bermain tunggal sedangka perempuan adalah pemain berkelompok. Perempuan melihat diri mereka sendiri dan setiap orang sebagai bagian dari kelompok, dan berpikir bahwa dengan berkelompok maka terjadi perpaduan atau interaksi dari berbagai potensi sehingga dapat menghasilkan kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kerja individu.